“Home Zweet Home,” demikian
status Twitter seorang teman pada suatu
ketika. Rumah kita sendiri sesederhana apapun keadaannya, memang adalah tempat
yang paling nyaman dibandingkan dengan tempat lain, semewah apapun itu. Kita
memiliki ikatan emosional dengan rumah kita masing-masing. Tetapi mari kita
bayangkan misalnya Rumah kita “Terbakar” atau “Kebanjiran”. Atau mari
membayangkan seorang anak yang diusir dari rumahnya karena berbeda pendapat
dengan orangtuanya. Secara manusiawi maka tentunya kita akan mencari Rumah lain
untuk mendapat perlindungan baik tetap maupun sementara.
Di dalam dunia pekerjaan
Perusahan Swasta, Pindah tempat kerja demi mendapatkan sesuatu yang lebih baik
atau buruknya tempat kerja yang lama adalah sesuatu yang normal dan bukan
kejadian luar biasa.
Anda fanatik dengan Kopi buatan
kedai kopi yang sebut saja namanya “Rumah Kopi Pertigaan” yang terkenal dengan
kopinya yang enak? Apakah kemudian rasa fanatik itu akan tetap dipertahankan
jika pada suatu ketika ternyata kualitas kopinya anjlok yang menyebabkan anda
mual dan muntah ketika meminumnya? Secara manusiawi saya yakin anda akan
mencari kedai kopi yang lain.
Jadi apa hubungannya dengan “kutu
loncat,” judul tulisan ini?
Secara harafiah, Kutu loncat
adalah serangga kecil yang merupakan anggota suku Psyllidae. Serangga ini hidup
dengan memakan cairan tumbuhan, sehingga beberapa jenisnya dikenal menjadi hama
berbahaya. Belakangan, kutu loncat diartikan sebagai Politisi yang suka berpindah
partai. Meminjam istilah sebuah grup musik : “Politisi Juga Manusia” yang akan
bertindak sama seperti anda pada contoh-contoh di awal tulisan ini. Kalau
begitu apakah kita semua pada dasarnya adalah “kutu loncat?” Kutu loncat adalah
serangga, dan kita bukan serangga tetapi adalah manusia : makhluk mulia yang
TUHAN berikan akal budi untuk bisa berkarya dan menjadi berkat bagi orang lain.
Kita bukan Kutu Loncat, tetapi kita adalah Manusia.
Sangat disayangkan Partai yang
telah bertahun-tahun mengkaderkan seseorang, tetapi pada akhirnya justru
“mengusir” seseorang tersebut. Semenjak kita meninggalkan sistem yang hanya
memilih “tanda gambar” dan menerapkan
sistem memilih “orang,” maka terjadi pergeseran nilai. konstituen lebih
bersimpati kepada “individu seseorang” dibandingkan dengan partai, karena pada
dasarnya Seorang politisi yang baik haruslah memperjuangkan aspirasi masyarakat
“lebih” daripada kepentingan partai politiknya.
Saya kutu loncat? “Sama skali
bukan pak, saya hanyalah seorang aktivis pemuda yang ingin memberi warna idealisme
muda di parlemen, dan untuk mewujudkan itu syarat awalnya adalah dicalonkan
dari suatu partai politik.” :)
Post a Comment